.jpg)
Kajian kali ini penulis ingin sedikit menyinggung
tentang pentingnya budaya dengan pendekatan syari’ah. Shalat yang merupakan
tuntutan umat muslim ternyata menyimpan hikmah yang begitu tinggi
nilainya.Penulis ingin menggambarkan sebuah contoh tentang berjamaah, yang
disitu melibatkan satu unsur penting, yaitu imam (pemimpin).Berjalan syah dan
tidaknya ibadah tersebut tergantung keadaan imam. Namun si imam juga tidak bisa
semena-mena mengendalikan posisinya , karena kendalinya juga di atur dengan
syarat, rukun yang semuanya di manuver penuh oleh syari’ah.
Agar kita sepaham atau kalau tidak sepaham,
sekurang-kurangnya demikianlah pemahaman saya, mundur dalam konteks budaya
mundur tidaklah bermakna dalam arti gerak yang konkret, "space-like"
(untuk meminjam istilahnya Einstein), melainkan mengandung pengertian yang
abstrak. Seperti misalnya yang kita ucapkan dalam Shalat: Wajjahtu
wajhiya lilladziy fathara al-samawaati wa al-ardha, kuhadapkan muka kepada
yang menciptakan langit dan bumi. Menghadapkan muka di sini tidaklah bermakna
dalam arah yang space-like, melainkan abstrak, karena Allah tidak mengisi ruang
yang space-like, Subhanallah, Maha Suci Allah dari sifat yang
demikian itu.
Ajaran Islam mengandung akidah, hukum syari'ah dan
akhlaq. Ketiga unsur itu merupakan satu system, artinya tidak berdiri sendiri,
melainkan ada kaitan di antara ketiganya, itulah yang disebut dengan kaffah. Dalam
hukum syari'ah ada yang menyangkut dengan hubungan antara manusia dengan Allah
yang disebut dengan hablun mina Allah dan ada yang menyangkut
dengan hubungan antara manusia yang disebut hablun mina naas. Kedua
sub-unsur itu juga merupakan satu sistem, tidak berdiri sendiri, ada kaitannya.
Shalat menyangkut dengan hablun mina Allah. Namun
demikian, berdasar atas prinsip kaffah (sistem), maka shalat itu tidaklah lepas
dari hablun mina naas. Dalam fiqih,
pendekatan secara kaffah ini tidak dipakai, sebab yang dibahas
hanya tentang apa hukumnya, yakni menyangkut status wajib, bagaimana cara
pelaksanaannya, apa rukunnya, persyaratan untuk syahnya dan apa yang
membatalkannya. Hal ini memang penting tetapi belum cukup. Padahal kalau
pembahasan itu memakai pendekatan kaffah maka akan terungkap bahwa dalam shalat
itu terdapat nilai-nilai yang mengisyaratkan bagaimana seharusnya orang itu
hidup bermasyarakat dan bernegara, hablun mina naas.
Saya teringat sebuah peristiwa dalam bulan Ramadhan
kemarin. Allahu yarham H. Abdul Ghani, imam tetap
masjid sebuah daerah di Kediri waktu itu sedang mengimami shalat maghrib.
Sementara membacanya pangumpuk (mengalami gangguan tenggorokan penuh dahak)'
beliau diserang batuk. Beliau lalu menyingkir ke samping, lalu salah satu
makmum mengganti posisisnya, maju ke depan melanjutkan mengimami shalat
maghrib, bacaan pangumpu' yang sempat terhenti disambung serta gerak shalat
diteruskan.
Dalam pengertian space-like, Allahu yarham H.
Abdul Ghani menyamping ke pinggir, dan dalam arti abstrak mundur. Dalam
konstruksi masjid, pada bagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu
antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat,
jika sementara shalat imam tidak sanggup atau tidak wajar lagi untuk mengimami
shalat. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak.
Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau
mengeluarkan angin, wudhu akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah
ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh
makmun. Jadi etika kepemimpinan menurut Islam, seorang pemimpin akan dengan
ikhlas mundur kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas lagi menjadi pemimpin,
apakah ketidaksanggupan atau ketidakpantasan itu dapat dipantau atau tidak oleh
para pengikutnya.
Adapun nilai lain dalam shalat yang mengisyaratkan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang imam (baca pemimpin) yang
melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur (baca
unjuk rasa) oleh makmun (baca pengikut). Kalau yang menegur itu laki-laki
ucapan teguran itu adalah kalimah subhanallah, untuk gerakan yang
salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam.
Sedang kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan
isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran,
memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Demikianlah nilai yang dapat
disimak yang diisyaratkan oleh nilai dalam shalat tentang kepemimpinan dan
kepengikutan. Seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur
haruslah sopan, tidak boleh vulgar. Unjuk rasa dengan kalimah Subhanallah bermakna
bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia
itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang
dada menerima unjuk rasa, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki demi
kemaslahatan bersama, bukan untuk menjatuhkan.
Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan
pakar sejarah budaya mundur itu bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka alangkah
sayangnya hal itu, oleh karena pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah umat
Islam, dan kedua, agama Islam sudah berabad-abad dianut di Indonesia, sehingga
semestinyalah budaya mundur itu (selesai periode shalat, maupun sementara
melaksanakan keimaman dalam shalat) telah mengakar di kalangan umat Islam di
Indonesia.
Adalah tanggung jawab seluruh umat Islam agar nilai
mundur yang diisyaratkan oleh ibadah shalat itu dimasyarakatkan,
didarah-dagingkan, dibudayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Membudayakan budaya mundur bukanlah meniru-niru budaya bangsa lain, karena
budaya mundur itu adalah bagian dari ajaran Islam. Yang salah besar jika teknis
pelaksanaan budaya mundur itu meniru cara Bushido Jepang, harakiri. Akan halnya
unjuk rasa haruslah berlandaskan nilai subhanallah. Pelaksanaan
teknisnya telah dicontohkan oleh para alim-ulama sewaktu berunjuk rasa yang
sejuk tentang hal SDSB sekitar empat atau lima tahunan yang lalu di Jakarta.
0 Komentar
SOLATLAH SEBELUM DI SOLATKAN.