Dari sekian banyak tafsir yang berkembang hingga saat ini
tidaklah terlepas dari kategori tafsir bir ra’yi (penafsiran menggunakan akal).
والمراد بالرأى هنا "الاجتهاد" وعليه فالتفسير بالرأى عبارة عن تفسير القرآن
بالاجتهاد بعد معرفة المفسِّر لكلام العرب ومناحيهم فى القول، ومعرفته للألفاظ العربية
ووجوه دلالاتها، واستعانته فى ذلك بالشعر الجاهلة ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفت
بالناسخ والمنسوخ من آيات القرآن، وغير ذلك من الأدوات التى يحتاج إليها المفسِّر Artinya,
“Dan yang dimaksud dengan bir ra’yi di sini adalah ijtihad. Definisi tafsir
bir-ra’yi adalah bentuk ijtihad menafsirkan al-Qur’an yang dilandasi dengan
pengetahuan mufasir terhadap ungkapan orang arab dan kecenderungan ucapan
mereka, penguasaan kosakata bahasa arab dan pemakaiannya, pengetahuan atas
syi’ir jahili, sebab turunnya ayat, bentuk-bentuk penyalinan dalam ayat
al-Qur’an, dan ilmu-ilmu yang lain yang dibutuhkan oleh seorang mufasir,” (Dr.
Muhammad Adz-Dzahabi, Kitab at-Tafsir wal Mufassirun [Kairo: Maktabah Wahbah
2005 M] juz I halaman 183).
Bagaimana dengan sebagian golongan radikal yang menolak
adanya tafsir bir ra’yi? Golongan radikal ini termasuk Ibnu Taimiyah menolak
tafsir bir ra’yi khususnya pada penafsiran ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah
terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya). Contoh : الرحمن على العرش
استوى Artinya, “Allah, Dzat Maha Penyayang istiwa’ pada ‘Arsy”(Qs.) Ulama Ahlu
Sunnah wal Jama’ah menafsiri dengan “Allah menguasai dan memiliki ‘Arsy”.
Sedangkan, Ibnu Taimiyah dan golongannya menolak hal tersebut dan menyatakan
bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Hal ini karena Ibnu Taimiyah menolak adanya
takwil, salah satu bentuk tafsir bir ra’yi serta cenderung tekstual dalam
menanggapi ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya). Berikut dalil golongan
kelompok radikal beserta sanggahannya; Pertama, عن ابن عباس قال رسول الله من قال
في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار Artinya, “Dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan
akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka,’” (HR Turmudzi). Maksud
hadits ini bukanlah menolak penafsiran dengan akal secara mutlak. Menurut Abu
Bakar Muhammad al-Anbari, ada dua kemungkinan maksud hadits ini.
Pertama, barang siapa yang berpendapat pada permasalahan
al-Qur’an dengan pendapat yang tidak dikenal di kalangan ulama generasi awal
dari para sahabat dan tabi’in maka ia sedang mengarah kepada murka Allah.
Kedua, barang siapa yang berpendapat pada ayat al-Qur’an dan ia tahu bahwa
pendapat yang benar adalah selain pendapatnya maka hendaknya ia ambil tempatnya
di Neraka. Kemungkinan makna kedua ini adalah yang paling tepat. قال أبو بكر محمد
بن القاسم الانباري في كتاب الرد: فسر حديث ابن عباس تفسيرين، احدهما من قال في مشكل
القران بما لا يعرف من مذهب الاوائل من الصحابة والتابعين فهو متعرض لسخط الله.والجواب
الاخر وهو اثبت القولين واصحهما معنى -: من قال القران قولا يعلم ان الحق غيره فليتبوأ
مقعده من النار. Artinya, “Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbari dalam kitab
ar-Radd mengatakan ‘Hadits Ibnu Abbas dapat ditafsirkan dengan dua penafsiran.
Pertama, barang siapa yang berpendapat pada permasalahan al-Qur’an dengan
(pendapat) yang tidak diketahui oleh ulama generasi awal dari para shahabat dan
tabi’in maka ia sedang mengarah kepada kemurkaan Allah. Kedua (pendapat yang
paling unggul), barang siapa yang berpendapat pada ayat al-Qur’an dan ia tahu
bahwa kebenaran adalah pendapat selain pendapatnya, maka hendaknya ia ambil
tempatnya di neraka.’” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, [Beirut, Dar
al-Fikr: 2008], juz I, halaman 32). Kedua, عن جندب بن عبد الله قال رسول الله من
تكلم في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ Artinya, “Dari Jundub bin Abdullah bahwa
Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan
pendapatnya, ia telah melakukan kesalahan meskipun pendapatnya benar,’”
(HR.Turmudzi).
Maksud hadits ini bukan menyalahkan penafsiran dengan akal
secara mutlak. Menurut Ibnu ‘Athiyah, hadits ini ditunjukkan kepada orang yang
terburu-buru dalam menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa mengambil pendapat para
ulama tafsir serta tanpa menerapkan kaidah ilmu seperti kaidah ilmu gramatika
bahasa arab. Hadits ini tidak ditunjukkan kepada seorang ahli tafsir yang
berlandaskan ilmu dan pertimbangan. Karena, para ahli tafsir yang berlandaskan
ilmu tidak sekedar menggunakan pendapat pribadi. وروي ان رسول الله قال من تكلم في
القرآن برأيه فاصاب فقد أخطأ ومعنى هذا أن يسأل الرجل عن معنى في كتاب الله فيتسور
عليه برأيه دون نظر فيما قال العلماء أو اقتضته قوانين العلوم كالنحو وليس يدخل في
هذا الحديث أن يفسر اللغويون لغته والفقهاء معانيه ويقول كل واحد باجتهاده المبني على
قوانين علم ونظر فإن هذا القائل على هذه الصفة ليس قائلا بمجرد رأيه Artinya,
“Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa yang berpendapat pada
al-Qur’an dengan pendapatnya, ia telah melakukan kesalahan meskipun pendapatnya
benar”. Dan makna (hadits) ini adalah ketika seseorang ditanyai tentang makna
dari ayat al-Qur’an kemudian ia terburu-buru menjawab dengan pendapatnya
sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat para ulama ataupun ketetapan kaedah
ilmu seperti kaedah ilmu gramatika bahasa arab. Dan tidak termasuk dalam
cakupan hadits ini bila seorang ahli bahasa arab menafsirkan al-Qur’an dari
sudut pandang tata bahasanya, seorang ahli fikih menafsirkan makna ayat
al-Qur’an, dan setiap orang yang berpendapat dengan ijtihadnya yang sesuai
dengan kaedah ilmu serta penuh pertimbangan. Hal ini karena mereka tidak
sekedar berbicara dengan pendapatnya sendiri” (Ibnu Athiyah, al-Muharrar
al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 2002]
juz.I hal.41)
Walhasil, meneliti tafsir al-Qur’an bagaikan mengarungi
samudera ilmu yang sangat luas. Seseorang yang memiliki ilmu yang cukup dapat
menggali mutiara keilmuan al-Qur’an yang belum dibahas oleh para ulama
sebelumnya. Karena ada banyak sekali makna al-Qur’an yang tidak dijelaskan
secara langsung oleh Rasulullah. والعجب كل العجب مما يزعم أن علم التفسير مضطر إلى
النقل في فهم معاني التراكيب ولم ينظر إلى إختلاف التفاسير وتنوعها ولم يعلم أن ماورد
عنه في ذلك كالكبريت الأحمر Artinya, “Dan sangat aneh orang yang menyangka bahwa
ilmu tafsir sebatas merujuk pada dalil naql (nukilan al-Qur’an dan hadits)
dalam memahami makna susunan al-Qur’an, ia tidak melihat perbedaan beragam
penafsiran, dan ia tidak tahu bahwa penjelasan dari Rasulullah terkait makna
susunan al-Qur’an bagaikan emas merah (sangat sedikit),” (Al-Alusi, Ruh
al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 2005]
juz I halaman 7).
0 Komentar
SOLATLAH SEBELUM DI SOLATKAN.