Namanya perbedaan pendapat dimanapun pasti ada, bahkan dalam ilmu nahwu shorof juga terjadi. Seperti yang mashur antara ulama kuffah dan bashroh yang kami nuqil dari kitab al-insof.
1. Akar kata/ al-Aslu al-Wahid, Masdar, atau Fi`il ?
Ulama Kuffah berpendapat bahwa al-aslu al-wahid atau akar kata berasal dari fi`il, sedangkan ulama Bashrah berpendapat bahwa al-aslu al-wahid adalah masdar.
Ulama Kuffah membuat dalih bahwa al-aslu al-wahid adalah fi`il karena suatu masdar akan menjadi masdar yang shohih jika fi`il-nya pun shohih. Sebaliknya ketika fi’il-nya i`tilal (berisikan huruf illat yang ada tiga, yaitu و,ا,ي), masdarnya pun i`tilal. Contoh ketika fi`il madhi-nya adalah lafadz ضَرَبَ (semua hurufnya shohih), maka masdarnya pasti dipenuhi huruf shohih pula, dalam hal ini diucapkan ضَرْبًا, sedangkan ketika fi`il madhi-nya mempunyai huruf illat, misalnya قَامَ , otomatis masdarnya juga mempunyai huruf illat, yaitu lafadz قِيَامًا, ketergantungan masdar kepada fi`il dari aspek inilah yang membuat ulama Kuffah yakin bahwa aslu al-wahid adalah fi`il.
Sementara ulama Bashrah menyatakan bahwa masdar merupakan akar kata karena dia menunjukkan zaman secara mutlak/ tidak terikat dengan tiga zaman (masa lampau, kini, dan akan datang), sedangkan fi`il keberadaannya pasti terikat (mu`ayyan) dengan salah satu dari tiga zaman tersebut, seperti fi`il madhi yang berzaman lampau, mudhori yang berzaman haal (masa kini), dan amr yang berzaman istiqbal (akan datang). Hal ini sedikit banyak lebih bisa diterima oleh orang Indonesia karena dalam gramatika bahasa Indonesia pun akar kata adalah sesuatu yang tidak terikat dengan zaman, contohnya adalah kata sedang memukul, sudah memukul, dan akan memukul semuanya berasal dari kata “pukul” yang notabene keberadaannya tidak terikat dengan zaman.
2. Kebolehan membuat shighot ta`ajub dengan warna hitam dan putih, tetapi tidak dengan warna yang lain
Dalam bahasa Arab, cara untuk mengungkapkan ekspresi kekaguman adalah dengan mengikutkan sebuah kata kepada wazan مَا اَفْعَلَ atau اَفْعِلْ بِهِ. Contoh kekaguman dengan cara pertama adalah ungkapan مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa indahnya langit) dan cara yang kedua adalah untaian Barzanji yang berbunyi وَأَكْرِمْ بِهِ مِنْ نَسَبٍ طَهَّرَهُ اللهُ مِنْ سِفَاحِ الْجَاهِلِيَّةِ (betapa mulianya nasab Nabi yang Allah sucikan (hindarkan) dari shifah/zinanya orang-orang jahiliah).
Entah bagaimana caranya kedua kubu ini kembali menemukan titik perbedaan pendapat, kali ini tentang kebolehan menggunakan kata سَوَادٌ (hitam) dan بَيَاضٌ (putih) sebagai bentuk kekaguman. Kubu Kuffah berpendapat bahwa menggunakan kata سواد yang berarti hitam dan بياض yang berarti putih diperbolehkan dengan menggunakan metode naql (mengambil untaian syair orang Arab terdahulu untuk kemudian dijadikan standar dan metode yang berkesinambungan). Akan tetapi, tidak boleh mengungkapkan ekspresi kekaguman dengan bahan dasar حمرة (merah), صفرة (kuning), خضرة (hijau) ataupun warna lainnya dengan metode qiyas, maksudnya adalah warna hitam dan putih punya hak spesial karena keduanya merupakan warna dasar sehingga boleh mengungkapkan ketakjuban dengan kedua warna tersebut, tetapi tidak dengan warna lainnya.
Namun, ulama Bashrah berkeyakinan bahwa tidak boleh membuat shighot ta`ajub (ekspresi kekaguman) dari warna apa pun, baik hitam ataupun putih, alasannya adalah karena ketika sebuah warna ingin dijadikan fi`il, bentuknya hanya bisa diikutkan kepada wazan اِفْعَلَّ, seperti اِسْوَدَّ, اِبْيَضَّ, اِحْمَرَّ, اِخْضَرَّ , tidak bisa dengan bentuk أَفْعَلَ .
3. Perangkat yang me-rofa`-kan mubtada dan khobar
Sudah diketahui bersama bahwa keberadaan mubtada` dan khobar adalah sesuatu yang tidak bisa dipisakan, keduanya pun sama-sama menyandang i`rob rofa`, hanya saja permasalahan mulai datang ketika muncul pertanyaan “Siapakah yang me-rofa`-‘kan keduanya?” Lagi-lagi kita dihadapkan dengan dua pilihan.
Menurut ulama Bashrah mubtada di-rofa`-kan oleh amil maknawi
ibtida karena keberadaannya hampir selalu berada di awal kalimat (ibtida`),
sedangkan khobar di-rofa`-kan oleh mubtada karena keberadaannya hampir selalu
didahului oleh mubtada.
oleh : muhammad alfan al-jogjawi
0 Komentar
SOLATLAH SEBELUM DI SOLATKAN.